get app
inews
Aa Text
Read Next : Momen Haru saat Napi Lapas Cikarang Dikunjungi Keluarga di Hari Idul Fitri

Tukar Uang Pinggir Jalan Berpotensi Riba, Rusak Pahala Puasa dan Ibadah Lain Selama Ramadhan

Sabtu, 29 Maret 2025 | 21:51 WIB
header img
Potret jasa penukaran uang baru sedang menawarkan kepada pengendara yang melintas di Jalan Bintaro Utara, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Rabu (26/3/2025). Foto: iNewsDepok/Muhamad Farhan.

JAKARTA, iNewsBekasi.id - Menjelang Hari Raya Idul Fitri, pemandangan yang sering dijumpai adalah ramainya aktivitas penukaran uang di tepi jalan raya di berbagai kota. Fenomena ini tentu memberikan kemudahan bagi masyarakat yang membutuhkan uang pecahan baru untuk berbagi di hari raya.

Namun, di balik kemudahan ini, muncul pertanyaan mengenai hukum menukar uang dengan memberikan kelebihan atau "fee". Apakah praktik ini termasuk riba yang mungkin tidak disadari, atau bahkan tahu itu riba namun tetap melakukannya?

Pertanyaan ini penting untuk ditelaah lebih lanjut agar bisa menjalankan ibadah dan tradisi lokal dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip agama.

Jadi Mari  coba pahami lebih dalam mengenai hukum tukar uang dengan kelebihan ini, agar bisa mengambil keputusan yang tepat dan berkah dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri.

Ustadz Ammi Nur Baits, alumnii Madinah International University (MIU) meraih gelar sarjana dalam bidang Fikih dan Ushul Fikih mengingatkan untuk berhati-hati dalam praktik penukaran uang receh ini.

Beliau menyoroti fenomena di mana uang dengan nilai tertentu ditukar dengan pecahan yang lebih kecil namun dengan selisih harga.

Sebagai contoh, menukar uang Rp100.000 dengan pecahan Rp5.000 namun harus membayar lebih, misalnya Rp110.000 atau uang yang ditukar jadi berkurang jadi Rp90.000.

Menurut Ustadz Ammi, praktik ini termasuk dalam kategori riba, meskipun transaksinya dilakukan ikhlas antar kedua belah pihak dan tunai. 

Beliau menjelaskan bahwa dalam Islam, tukar menukar mata uang yang sejenis, seperti rupiah dengan rupiah, memiliki dua syarat utama: nilai yang ditukar harus sama persis, dan transaksi harus dilakukan secara tunai atau langsung. Jika ada kelebihan atau tambahan dalam penukaran tersebut, maka hukumnya adalah riba.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, 

فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ

“Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.

Penting untuk memahami hal ini agar tradisi baik berbagi di hari raya tidak ternodai oleh praktik yang dilarang agama. Mari lebih cermat dan menghindari transaksi penukaran uang yang mengandung unsur riba.

Riba tetap Riba, sekalipun Saling Ridha

Muncul pertanyaan menarik, bagaimana jika penukaran uang receh dengan tambahan itu dilakukan atas dasar kerelaan dan saling setuju? Bukankah dalam banyak hal, kesepakatan yang didasari keridaan itu diperbolehkan? Ada anggapan bahwa yang dilarang adalah jika ada unsur paksaan atau ketidakrelaan.

Namun, Ustadz Ammi Nur Baits memberikan pandangan yang tegas mengenai hal ini. Beliau menjelaskan bahwa dalam transaksi yang sudah jelas diharamkan oleh syariat, kerelaan dan keikhlasan dari para pihak yang terlibat tidak serta merta mengubah hukumnya menjadi boleh.

Beliau menekankan bahwa pengharaman transaksi seperti riba bukan hanya karena adanya potensi pihak yang terpaksa atau dirugikan. Lebih dari itu, transaksi tersebut diharamkan karena memang melanggar aturan dan prinsip-prinsip syariat yang telah ditetapkan.

"Orang yang melakukan transaksi riba, meskipun keduanya saling ridha dan ikhlas, tetap dilarang dan termasuk dosa besar," tegas Ustadz Ammi, seperti dikutip dari laman Konsultasisyariah.com.

Beliau memberikan contoh lain untuk memperjelas, seperti transaksi jual beli khamr (minuman keras) atau narkoba. Meskipun penjual dan pembeli sama-sama rela dan setuju dengan transaksi tersebut, hukumnya tetap haram karena memang dilarang dalam agama.

Dari penjelasan ini, kita bisa memahami bahwa dalam hal-hal yang sudah ditetapkan keharamannya oleh syariat, persetujuan dan kerelaan dari pihak-pihak yang terlibat tidak bisa menggugurkan hukum tersebut. Kita perlu lebih berhati-hati dan mendasarkan setiap tindakan kita pada aturan agama, termasuk dalam hal transaksi penukaran uang menjelang Lebaran.

Bagaimana dengan firman Allah, 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan saling ridha di antara kalian.” (QS. an-Nisa: 29)

Jawab:

Ayat ini kita yakini benar. aturannya juga benar. Namun Saling ridha yang menjadi syarat halal transaksi yang disebutkan dalam ayat ini, berlaku hanya untuk transaksi yang halal. Seperti jual beli barang dan jasa. Sementara transaksi haram, seperti riba, tidak berlaku ketentuan saling ridha. Karena semata saling ridha, tidak mengubah hukum.

Berdalil Upah Penukaran Uang

Sebagian orang mungkin berdalih bahwa kelebihan dalam penukaran uang receh itu wajar sebagai "upah" atas jerih payah mereka. Mereka harus antri di bank, menyiapkan modal, dan lain sebagainya, sehingga merasa pantas mendapatkan imbalan lebih.

Namun, Ustadz Ammi Nur Baits meluruskan pandangan ini dengan bijak. Beliau menjelaskan bahwa alasan tersebut kurang tepat karena esensi dari transaksi ini bukanlah mempekerjakan seseorang untuk menukar uang di bank, melainkan pertukaran uang dengan uang. Tambahan yang diberikan bukanlah upah dalam arti sebenarnya.

Beliau memberikan ilustrasi yang mudah dipahami: ketika seorang atasan meminta karyawannya, sebut saja Paijo, untuk menukarkan sejumlah uang ke bank, Paijo akan diberi upah atas pekerjaannya tersebut. Upah ini biasanya ditentukan berdasarkan volume pekerjaan, bukan berdasarkan jumlah uang yang ditukarkan.


 
"Kita bisa lihat, baik Pak Bos menyerahkan uang 1 juta, 2 juta, atau 3 juta untuk ditukar, upah yang diterima Paijo kemungkinan besar tetap sama, misalnya Rp50.000. Ini karena upah itu menghargai waktu dan usaha Paijo dalam melakukan tugas tersebut," jelas Ustadz Ammi.

Berbeda dengan itu, dalam jasa penukaran uang di pinggir jalan, nilai tambahannya bersifat tetap atau persentase tertentu dari jumlah uang yang ditukar. Misalnya, setiap penukaran Rp100.000, ada tambahan Rp10.000 atau Rp5.000. Inilah yang menurut Ustadz Ammi lebih tepat dikategorikan sebagai riba, bukan sebagai upah atas jasa penukaran uang.

Penting untuk memahami perbedaan mendasar ini. Meskipun niatnya mungkin baik untuk mendapatkan keuntungan dari jasa yang diberikan, transaksi penukaran uang dengan tambahan nilai, meski disebut "upah", tetap perlu diwaspadai agar tidak terjerumus dalam praktik riba yang dilarang. Mari kita cari cara yang lebih sesuai dengan prinsip syariat jika kita ingin memberikan imbalan atas bantuan penukaran uang.

 

Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut