Sosok KH Muchtar Thabrani, Ulama Bekasi yang Mengubah Kampung Halaman Jadi Pusat Ilmu!
Jika dermawan ini bisa membedakan orang-orang yang Muthathowi’ atau bukan tentu saja para dermawan ini bukan orang sembarangan, mereka sebenarnya adalah para dermawan yang juga seorang ulama yang berilmu tinggi.
Di Tanah Suci, Muchtar menimba ilmu kepada beberapa orang guru, yaitu Syeikh Muchtar At-Atharied, Syeikh Ahyad, Syeikh Ali Al Maliki dan beberapa orang guru lainnya. Namun guru yang paling dekat dan paling banyak mempengaruhi pola pikir dan perkembangan keilmuannya adalah Syeikh Ahyad.
Setelah kurang lebih 13 tahun menuntut ilmu di Tanah Suci, Muchtar pun memutuskan untuk kembali ke tanah air setelah mendapat restu dari guru-gurunya. Di saat perjalanan pulang menuju tanah air, ketika beliau masih di dalam kapal laut, Muchtar menerima kabar bahwa ayahnya Pak Thabrani telah berpulang menghadap Allah Swt.
Setelah memiliki pengetahuan yang cukup memadai, Muchtar kembali ke kampung halamannya untuk mengabdikan ilmu dan memulai perjalanan dakwah di kampungnya yang saat itu masih kental dan sarat dengan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Pada saat usianya menjelang 20 tahun, Muchtar telah menjadi tokoh pemuda yang paling disegani di kampungnya. Muchtar telah berhasil mengubah dan meluruskan masyarakat Kaliabang Nangka dari pola hidup yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Ketika itu Kaliabang Nangka masih sangat akrab dengan pengaruh kepercayaan animisme dan dinamisme. Persembahan untuk makhluk halus dan percaya bahwa benda-benda mati mempunyai kekuatan ghaib dan dapat menolong manusia, bukan merupakan pemandangan yang aneh saat itu.
Muchtar terpanggil untuk membenahi aqidah orang kampungnya, yang sudah semakin jauh dari ajaran Islam yang benar. Sedikit demi sedikit Muchtar mulai merubah pola hidup keagamaan di kampungnya.
Pada tahun 1950, Muchtar tiba di Tanah Air disambut sanak keluarga, sahabat, dan masyarakat di kampungnya. Kondisi di Tanah Air pada saat itu telah berada pada keadaan berdaulat.
Sehingga Muchtar dapat kembali ke Tanah Air tanpa ada rintangan apapun di jalan. Dengan oleh-oleh sejumlah kitab yang dipikul oleh dua orang pembantu dan bekal ilmu yang telah meresap pada dirinya, Muchtar tiba di kampungnya, Kaliabang Nangka.
Belum sempat Muchtar beristirahat, Guru Tohir, paman beliau memanggilnya dan meminta Muchtar untuk membaca oleh-oleh kitab yang dibawanya dari Tanah Suci.
Rupanya paman beliau ingin menguji kemampuan Muchtar yang selama urang lebih 13 tahun telah menimba ilmu di Tanah Suci. Muchtar pun menurut dan mulai membaca kitab-kitab tersebut dengan lancar, fasih disertai dengan penjelasan yang cukup baik.
Melihat kepandaian keponakannya itu, Guru Tohir, sanak keluarga, sahabat dan masyarakat yang turut menyaksikan kejadian itu tak sanggup lagi menahan haru dan menitikan airmata. Sesaat kemudian bergemalah kalimat takbir… Allahu Akbar! dari orang-orang yang hadir saat itu.
Sepanjang perjalanan perjuangan dakwah KH. Muchtar Thabrani di tanah air, dari tahun ke tahun murid-murid yang ingin belajar kepada beliau kian bertambah banyak, dari usia anak-anak, remaja, bahkan dewasa.
Mengingat banyaknya murid yang ingin belajar, beliau pun dibantu oleh beberapa murid senior dari hasil didikan beliau yang diangkat menjadi staf pengajar.
Suatu hari berkumpulah beberapa orang murid senior KH. Muchtar Thabrani, diantaranya KH. Alawi, KH. Asmawi, KH. Anwar, KH. Abdullah, Guru Asmat dan Guru Jenih.
Dari hasil musyawarah keenam murid senior yang merupakan staf pengajar tersebut, tercapailah sebuah kesepakatan bahwa seluruh santri yang mengaji pada keenam staf pengajar tersebut akan diseleksi secara khusus.
Bagi santri yang lulus seleksi, maka santri tersebut dapat mengaji dibawah bimbingan langsung Syekh KH. Muchtar Thabrani. Maka terpilihlah sekitar 20 orang santri (angkatan pertama) yang berhak mengaji langsung pada KH Muchtar Thabrani.
Sementara santri-santri yang lain, yang masih tingkat dasar mengaji pada keenam staf pengajar tadi.
Di tahun 1951, KH Muchtar Thabrani mendirikan sebuah Pondok Pesantren yang diberi nama “Pondok Pesantren Kaliabang Nangka” yang diambil dari nama kampungnya tersebut. Pondok Pesantren inilah yang nantinya menjadi cikal bakal berdirnya Pondok Pesantren Annur yang dikenal sekarang.
Editor : Wahab Firmansyah