Dampak Buruk Remaja yang Lebih Nyaman Curhat ke AI

Neneng Zubaidah
Artificial intelligence (AI) kini jadi “Teman Virtual” remaja. Foto/Ilustrasi/Istimewa

JAKARTA, iNewsBekasi.id- Perkembangan teknologi mengubah cara remaja menyalurkan perasaan. Jika dulu mereka lebih banyak berbagi cerita dengan teman sebaya atau orang tua, kini sebagian remaja justru merasa lebih nyaman curhat kepada kecerdasan buatan (AI).

Kepala Pusat Kajian Gender dan Anak (PKGA) IPB University, Dr. Yulina Eva Riany, menilai fenomena ini perlu dikaji secara kritis karena membawa peluang sekaligus tantangan bagi tumbuh kembang remaja.

“Bagi remaja, AI dianggap netral dan tidak menghakimi. Mereka merasa lebih aman mengungkapkan perasaan tanpa takut dimarahi, disalahkan, atau diejek,” katanya melalui siaran pers, Kamis (25/9/2025).

AI Jadi “Teman Virtual” Remaja

Menurut Dr. Yulina, ketersediaan AI selama 24 jam membuatnya seolah menjadi teman virtual alami bagi generasi Z dan Alpha. Namun, meski bermanfaat sebagai penyalur emosi, tren ini juga mengindikasikan adanya kesenjangan komunikasi antara remaja dengan orang tua maupun jejaring sosialnya.

Ia mengingatkan bahwa jika tidak dikelola dengan baik, kebiasaan curhat ke AI bisa menimbulkan risiko serius.

“Remaja bisa saja mengalami kebocoran data pribadi karena interaksi mereka tersimpan di server penyedia layanan AI,” ujarnya.

Selain itu, ketergantungan emosional pada AI berpotensi melemahkan keterampilan sosial remaja. Respons instan dari AI dapat membuat mereka kurang terbiasa mengelola frustasi, menunggu, atau bernegosiasi dengan orang lain.

“Keterampilan empati, membaca ekspresi wajah, dan komunikasi nyata bisa tereduksi jika semua curhat digantikan AI,” tambahnya.

Peran Orang Tua dan Sekolah

Dr. Yulina menekankan pentingnya peran orang tua dalam membangun komunikasi sehat dengan anak. Orang tua sebaiknya membuka ruang dialog dua arah, mendengarkan tanpa menghakimi, sekaligus memberikan literasi digital terkait risiko berbagi data pribadi.

“Sesekali tanyakan kepada anak, dengan cara suportif, apa yang ia bicarakan dengan AI. Pendampingan aktif ini krusial agar remaja tidak salah langkah,” tutur Dr. Yulina.

Di sisi lain, sekolah juga memegang peran penting. Integrasi literasi digital dan emosional dalam kurikulum dinilai menjadi kebutuhan mendesak. Guru bimbingan konseling (BK) pun perlu memahami fenomena ini agar siswa tetap merasa nyaman berbicara dengan manusia.

“Sekolah dapat membentuk peer support system, yakni kelompok teman sebaya terlatih untuk mendengarkan. Dengan begitu, remaja tidak hanya bergantung pada AI,” jelasnya.

Editor : Wahab Firmansyah

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network