Maka, bersamaan embusan napas terakhir sang konglomerat, turunlah si tukang kayu ke liang lahat. Bau tanah basah menusuk, lilin berkedip-kedip memecah sunyi. Tepat tujuh langkah pengantar jenazah berlalu, malaikat Munkar dan Nakir datang menguji. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya mereka, suaranya bergema di ruang gelap.
Si tukang kayu, dengan tangan berpegangan pada kapak tuanya, menjawab tenang, "Aku memenuhi janji, menemani mendiang demi secercah harapan untuk keluargaku." Malaikat terdiam, lalu kembali bertanya, "Dari mana kapak itu berasal?"
Pertanyaan demi pertanyaan mengalir selama 40 hari, bukan tentang harta warisan, tapi tentang kapak tua dan dedikasi tak henti si tukang kayu. Kapak yang dibeli dari jerih payah, diasah dengan tekun, digunakan untuk membangun mimpi keluarganya. Tak ada dendam, tak ada iri, hanya ketulusan dan kerja keras yang memantul dari jawaban-jawabannya.
Pada hari terakhir, cahaya terang memenuhi kuburan. Kapak tua di tangan si tukang kayu bercahaya keperakan, bukan pancaran emas, melainkan kilau kehormatan. Malaikat tersenyum, "Kau lulus ujian. Harta itu milikmu, tapi yang lebih berharga, kau telah membawa pulang harta kehormatan dan ketulusan."
Si tukang kayu keluar dari kuburan, bukan kaya harta, tapi kaya hati. Wasiat sang konglomerat telah mewariskan bukan kekayaan, tapi pelajaran tentang nilai sejati kehidupan. Dan kisah ini, berbisik dari mulut ke mulut, menjadi harta tak ternilai bagi siapa saja yang mau mendengar.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta