Tukar Uang Pinggir Jalan Berpotensi Riba, Rusak Pahala Puasa dan Ibadah Lain Selama Ramadhan

Sebagian orang mungkin berdalih bahwa kelebihan dalam penukaran uang receh itu wajar sebagai "upah" atas jerih payah mereka. Mereka harus antri di bank, menyiapkan modal, dan lain sebagainya, sehingga merasa pantas mendapatkan imbalan lebih.
Namun, Ustadz Ammi Nur Baits meluruskan pandangan ini dengan bijak. Beliau menjelaskan bahwa alasan tersebut kurang tepat karena esensi dari transaksi ini bukanlah mempekerjakan seseorang untuk menukar uang di bank, melainkan pertukaran uang dengan uang. Tambahan yang diberikan bukanlah upah dalam arti sebenarnya.
Beliau memberikan ilustrasi yang mudah dipahami: ketika seorang atasan meminta karyawannya, sebut saja Paijo, untuk menukarkan sejumlah uang ke bank, Paijo akan diberi upah atas pekerjaannya tersebut. Upah ini biasanya ditentukan berdasarkan volume pekerjaan, bukan berdasarkan jumlah uang yang ditukarkan.
Berbeda dengan itu, dalam jasa penukaran uang di pinggir jalan, nilai tambahannya bersifat tetap atau persentase tertentu dari jumlah uang yang ditukar. Misalnya, setiap penukaran Rp100.000, ada tambahan Rp10.000 atau Rp5.000. Inilah yang menurut Ustadz Ammi lebih tepat dikategorikan sebagai riba, bukan sebagai upah atas jasa penukaran uang.
Penting untuk memahami perbedaan mendasar ini. Meskipun niatnya mungkin baik untuk mendapatkan keuntungan dari jasa yang diberikan, transaksi penukaran uang dengan tambahan nilai, meski disebut "upah", tetap perlu diwaspadai agar tidak terjerumus dalam praktik riba yang dilarang. Mari kita cari cara yang lebih sesuai dengan prinsip syariat jika kita ingin memberikan imbalan atas bantuan penukaran uang.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta